Anti Copas

Sabtu, 09 Mei 2015

Wayang Kulit (Kesenian Tradisional Suku Banjar - Kalimantan Selatan)


Kilas Sejarah : Wayang Banjar adalah wayang kulit berbahan baku kulit binatang yang dikenal dan berkembang di masyarakat Kalimantan Selatan. Secara fisik, dibandingkan dengan wayang kulit Jawa, wayang kulit Banjar berukuran lebih kecil, atau lebih mendekati ukuran wayang kulit Bali.

Dari segi musik, ritme gamelan yang mengiringi wayang kulit Banjar cenderung lebih keras dan cepat. Wayang ini juga tidak memiliki waranggana atau perempuan-perempuan yang terlibat dalam pertunjukan dengan menyanyikan lagu atau gending seperti pada wayang kulit Jawa.

Pada umumnya gamelan wayang kulit Banjar terbuat dari besi, tidak seperti gamelan wayang kulit Jawa yang rata-rata menggunakan bahan logam perunggu. Pada tahun 1900, gamelan Banjar mini sudah berkembang, terbuat dari bahan baja dan besi, terdiri dari sarun satu, sarun dua (sarantam), kanung, dan dawu serta agung kecil dan agung besar. Ditambah kangsim gendang atau babun yang terdiri dari babun besar dan kecil.

Babun besar berfungsi untuk mengiringi wayang kulit dan wayang gung, sementara babun kecil sebagai musik selingan mengiringi tembang dan tarian baksa atau topeng.

Penonton wayang kulit di Kalimantan Selatan lebih sering berada di belakang kelir (layar) sehingga yang ditonton adalah bayangan wayang tersebut. Berbeda dengan wayang kulit Jawa yang langsung ditonton dari atas panggung.

Menurut hikayat Banjar, seni wayang sudah mulai tumbuh dan berkembang dikerajaan Negara Dipa dan merupakan jenis kesenian yang biasa dipertunjukkan di kerajaan itu. Berhubungan dengan seni pertunjukan wayang, ada anggapan kalau pada awalnya sebagian masyarakat menjadikan pertunjukan wayang sebagai semacam pertunjukan upacara yang biasa disebut dengan istilah syamanisme. Dan hal ini didukung oleh penelitian yang menyatakan kalau kebanyakan suku-suku di kepulauan nusantara memang memiliki kebiasaan melakukan upacara syaman. Jadi tidak mengherankan kalau pertunjukan wayang suku Banjar menjadi berbentuk kegiatan upacara yang pementasannya diadakan pada malam hari dengan anggapan roh-roh nenek moyang berkelana pada saat itu.

Dalam masyarakat Banjar dikenal beberapa jenis wayang yang dikategorikan berdasarkan niat dari pementasannya. Ada yang disebut Wayang Karasmin, yaitu wayang yang diperuntukkan untuk hiburan atau keramaian. Wayang Tahun yang dipentaskan sebagai tanda ucapan syukur atas berakhirnya musim panen padi.

Wayang Tatamba yang diselenggarakan karena sang dalang berhasil menyembuhkan seseorang dari penyakitnya. Ada juga pertunjukkan wayang kulit Banjar yang berkaitan dengan spiritual yakni Wayang Sampir. Pementasan Wayang Sampir berkaitan dengan hajatan atau nazar. Dalam penyajiannya, dalang bertindak sebagai pemimpin upacara yang memiliki kemampuan mengusir roh-roh jahat yang sering mengganggu ketenteraman manusia.

Kesenian wayang kulit Banjar baru memasukkan warna lokal pada masakerajaan Islam Banjarmasin. Dan hal ini mendapat sambutan yang bagus dari masyarakat Banjar. Sebelum masuknya pengaruh Islam, penyajian wayang kulit masih meniru penyajian dalang Jawa. Cerita wayang kulit Banjar kemudian beradaptasi dan menjadi seni pertunjukan khas, yang memiliki perbedaan dengan wayang kulit Jawa baik dari segi bentuk wayang, lagu gamelan penggiring, atapun cara memainkannya. Wayang kulit Banjar benar-benar mempunyai nilai-nilai krusial dan esensial.

Pertunjukan wayang kulit Banjar menggunakan cerita atau lakon “carang” yang berarti bukan cerita pakam (pakem). Ceritanya bersumber pada cerita Mahabharata, yang dalam perlakonan selalu membawa misi perilaku karakter yang baik dan yang jahat dalam aksi laku simbolik. Sementara teknis penyajian wayang kulit Banjar dalam lakon carangan lebih berfungsi sebagai tontonan.

Dalam pementasannya, wayang kulit Banjar menggunakan bahasa Banjar karena ada kecenderungan hilangnya aspek seni jika menggunakan bahasa Indonesia.



Wayang kulit termasuk ke dalam jenis teater klasik. Kesenian wayang kulit ini sudah sejak lama dikenal dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat Hulu Sungai Selatan (HSS). Jenis kesenian ini sangat kompleks, karena didalamnya terkandung seni tatah, seni tetabuhan, seni suara, dan seni memainkan wayang itu sendiri. Para dalang yang memainkan wayang kulit ini juga banyak yang dikenal hingga tingkat nasional. Salah seorang diantaranya adalah Dalang Tulur, seorang seniman wayang kulit asal Desa Barikin, Hulu Sungai Tengah (HST). Pada masanya, Dalang Tulur bahkan pernah beberapa kali diundang untuk menggelar wayang kulit di Istana Negara oleh Presiden Soekarno.

Dalam pertunjukan wayang kulit, lakon cerita yang dibawakan oleh para dadalang dengan menggunakan bahasa yang puitis lirik dan percakapan sehari-hari. Cerita yang dibawakan biasanya bersifat carangan, dengan nara sumber pada pakem Mahabarata atau pakem Ramayana yang diolah begitu rupa, dikaitkan dengan kondisi dan permasalahan masyarakat sekitar dalam konteks kekinian.

Kesenian wayang kulit ini biasanya ditampilkan dalam rangka acara Manyampir atau Manyanggar Banua, bisa juga ditanggap sebagai hiburan rakyat, seperti karasmin untuk memeriahkan upacara perkawinan, dll.

Sejumlah grup pagelaran wayang kulit di HSS yang pernah dan masih aktif bergelar diantaranya Darma Kasuma dari Desa Tabihi pimpinan Dalang Saidi. Asam Barimbun dari Desa Telaga Langsat pimpinan Dalang Rahmadi. Krisna pimpinan Dalang Ronde.

Para tokoh seniman wayang kulit atau yang lebih dikenal dengan sebutan dalang yang pernah dan masih Berjaya di HSS adalah Dalang Diman asal Desa Barikin Kec. Haruyan, HST. Dalang Aini yang sering mengisi acara budaya di RRI Banjarmasin. Lalu Dalang Kadri asal Desa Telaga Langsat. Kemudian Dalang Kamsi, Dalang Muni (Alm), Dalang Jantera. Ketiganya tinggal di Tabihi. Kemudian Dalang Sastra dari Mandampa Kec. Telaga Langsat. Dalang Igus di Angkinang. Dalang Incit dari Ganda Baluti. Dalang Incit meninggal pada Minggu, 28 Oktober 2012 di Kandangan. Tepat dihari perkawinan anaknya. Berikutnya ada Dalang Ronde asal Pandai. Yang disebut terakhir ini boleh dibilang seorang dalang yang cukup sukses dan punya nama besar pada masanya. Dalang Ronde meninggal dunia saat menunaikan ibadah haji dan dimakamkan di Mekkah pada tahun 2010.

Pada tahun 1960 hingga 1970-an, kesenian wayang kulit Banjar menjadi hiburan yang ditunggu-tunggu hampir semua kampung di Kalimantan Selatan. Wayang kulit Banjar pada masa lalu berkaitan erat dengan unsure-unsur magis. Kalau seorang dalang tidak memiliki kekuatan magis, dia dapat menghadapi bahaya bahkan kematian.

Namun, kini permainan wayang kulit sudah disesuaikan dengan ajaran Islam. Melalui permainan wayang kulit, dalang menyampaikan pesan-pesan moral seperti yang dilakukan Wali Songo di tanah Jawa. Tidak berlebihan jika Rundi, salah satu dalang wayang kulit di Kalimantan Selatan, menyebut wayang kulit Banjar yang dia mainkan sebagai wayang tauhid.

Sedikitnya ada dua jenis wayang kulit di Kalimantan Selatan, yakni wayang yang dimainkan untuk batatamba (pengobatan) atau sampir dan wayang karasmin (hiburan). Sekarang, perlu ada kerjasama dengan para seniman tradisional untuk melestarikan seni tradisi ini. Salah satunya memadukan wayang kulit dengan kesenian topeng Banjar dan permainan musik panting. Kolaborasi ini mirip permainan wayang kulit Jawa dengan musik campursari.


Sumber :
  • http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/wayang-kulit-banjar
  • http://www.museumwayang.com/Wayang%20Kulit%20Banjar.html

1 komentar:

Next Prev home