Kilas Sejarah : Bahan Dasar : Kulit kerbau, dan Tanduk kerbau.
Wayang Ukur, diciptakan oleh Sukasman (seniman) asal Yogyakarta (1964). Meditasi sebelumnya, wayang ini proses pembuatannya selalu diukur-ukur bentuk tinggi dan panjang pundaknya sehingga sesuai dengan selera dan jiwa seninya, bahkan dalam proses pembuatan bentuk fisik sudah banyak merubah bentuk pakem wayang pada umumnya. Selalu ada bentuk atau tokoh wayang baru dalam setiap kebutuhan untuk pertunjukan. Sosok punakawan seperti Petruk dibuat berbagai macam, Petruk menjadi Ratu dengan segala kemewahan kostum yang dikenakannya. Petruk menggunakan Praba, Irah-irahan yang menjulang keatas dengan desain ulur. Tokoh wayang Batara Guru dengan background Matahari yang sangat menyolok. Corak dan ornament wayang ukur sudah melalui tahap-tahap deformasi yang sangat banyak, namun pakem wayang pada umumnya masih sangat melekat pada sosok wayang ukur tersebut. Ceritera yang dibawanya-pun juga masih mengikuti cerita-cerita pada umumnya dengan mengacu kebutuhan sang dalang jika sang dalang tersebut ingin menambah cerita tambahan diluar pakem, sehingga bentuk wayang ukur inipun sebetulnya tidak terbatas. Bahkan jika Sukasman sendiri yang menjadi dalangnya, beliau selalu menampilkan patung-patung kreasinya sendiri sebagai arsitektur tata panggung. Sukasman sebagai pembuat wayang ukur banyak mengkreasi bentuk-bentuk wayang baru dengan segala keindahan ornamen serta bentuk fisik wayang tersebut. Banyak pelaku seni menyebut wayang ukur adalah wayang kontemporer. Apapun yang dikatakan oleh kebanyakan orang bagi Sukasman wayang tidak harus selalu paten secara bentuk, namun kreasi wayang harus selalu bertambah agar kesenian atau kebudayaan wayang selalu tumbuh segar dinegeri ini.
Ketika wayang dimaknai dengan seni bayang-bayang, barangkali pemahaman itu perlu diaktualisasi. Dan hal itu yang dilakukan oleh almarhum Ki Sukasman yang mengagas lahirnya jenis Wayang Ukur. Sebuah gagasan ‘menyimpang’ dari pementasan wayang kulit pada umumnya. Sebab, dalam konsep Wayang Ukur, kelir (layar-red) bukan difungsikan sebagai pembatas antara dalang dengan penonton tetapi menjadi bagian dari ‘properti’ pementasan. Lebih dari itu, kelir menjadi media untuk menampilkan illustrasi 3 dimensi untuk memperkuat ilustrasi lakon.
Gagasan pembaharuan seni pakeliran lewat “Wayang Ukur” ini diperkenalkan oleh Ki Sukasman sejak tahun 80-an atas keresahannya terhadap semakin menipisnya anak muda yang menggemari pertunjukan wayang kulit. Sukasman menciptakan sebuah seni garda depan tanpa kehilangan roh tradisinya. Dengan daya ungkap melalui bahasa Indonesia. Wayang Ukur mencoba memberi tawaran sebuah seni pertunjukan bayang-bayang yang berwawasan global. la melakukan eksperimen dengan menciptakan wayang kulit genre baru, dengan kaidah seni rupa dan teknik tata cahaya yang baru, ia menciptakan seni pertunjukan kontemporer wayang sebagai seni bayang-bayang dengan memadukan unsur-unsur seni tari, teater, gamelan, dan seni sastra yang tidak lagi tunduk pada konvensi tradisi.
Namun, alih-alih mendapat dukungan, Ki Sukasman justru mendapat cemoohan dari rekan sesama dalang. Sukasman bahkan pernah dituduh sengaja merusak pakem wayang. Sebab, selain melakukan perubahan dalam pementasan wayang, Ki Sukasman juga merombak ‘tata sungging’ wayang yang telah ada.
Sumber :
- http://www.museumwayang.com/Wayang%20Kulit%20Ukur.html
- https://wayang.wordpress.com/category/wayang-jenis2/wayang-ukur/
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus